This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 30 Agustus 2021

Galeri Hari Anak Nasional Desa Jurit

Hari Anak Nasional

















 

Senin, 15 Maret 2021

Mari berinfaq

Untuk pengembangan TPQ BAITUL ISHLAH



Kamis, 24 September 2020

Buku PAI terbaruuu.

Senin, 24 Agustus 2020

Silak Simpang

 Animasi


Sabtu, 22 Agustus 2020

Sejarah Kebudayaan Islam: PPT SKI Bani Umayyah kelas VII

Sejarah Kebudayaan Islam: PPT SKI Bani Umayyah kelas VII: PPT SKI Bani Umayyah kelas VII from dayat7

Rabu, 19 Agustus 2020

Selamat Tahun Islam, 1 Muharram 1442 H

Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 Hijriah akan jatuh pada Kamis 20 Agustus 2020.

Sebelum meninggalkan 1441 Hijriah dan menyambut 1 Muharram 1442 Hijriah maka ada baiknya membaca doa akhir dan awal tahun untuk mengawalinya.


Artinya dilarang untuk melakukan peperangan atau pun perselisihan pada bulan ini.

Oleh karenanya beberapa kemuliaan bisa diamalkan pada bulan Muharram.


Doa akhir tahun


Berikut doanya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِى هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِى عَنْهُ فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلِمْتَ عَلَىَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِى وَدَعَوْتَنِى اِلَى التَّوْبَةِ بَعْدَ جَرَا ئَتِى عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّى اَسْتَغْفِرُكَ فَغْفِرْلِى وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِى عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَاَسْأَلُكَ اَللَّهُمَّ يَاكَرِيْمُ يَاذَ الْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّى وَلاَ تَقْطَعَ رَجَائِى مِنْكَ يَاكَرِيْمُ وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim, Wa shallallaahu ‘ala sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihii wa sallam. Allaahumma maa ‘amiltu fi haadzihis-sanati mimmaa nahaitani ‘anhu falam atub minhu wa lam tardhahu wa lam tansahu wa halamta ‘alayya ba’da qudratika ‘alaa uquubati wa da’autani ilattaubati minhu ba’da jur’ati alaa ma’siyatika fa inni astaghfiruka fagfirlii wa maa ‘amiltu fiihaa mimma tardhaahu wa wa’adtani ‘alaihits-tsawaaba fas’alukallahumma yaa kariimu yaa dzal-jalaali wal ikram an tataqabbalahuu minni wa laa taqtha’ rajaai minka yaa karim, wa sallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin Nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa ‘aalihii wa sahbihii wa sallam

Artinya: Dengan menyebut asma Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Alloh tetap melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan dan penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau. Ya Alloh! Apa yang saya lakukan pada tahun ini tentang sesuatu yang Engkau larang aku melakukannya, kemudian belum bertaubat, padahal Engkau tidak meridloi (merelakannya), tidak melupakannya dan Engkau bersikap lembut kepadaku setelah Engkau berkuasa menyiksaku dan Engkau seru aku untuk bertaubat setelah aku melakukan kedurhakaan kepada MU, maka sungguh aku mohon ampun kepada MU, ampunilah aku! Dan apapun yang telah aku lakukan dari sesuatu yang Engkau ridloi dan Engkau janjikan pahala kepadaku, maka aku mohon kepada MU ya Alloh, Dzat Yang Maha Pemurah, Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, terimalah persembahanku dan janganlah Engkau putus harapanku dari MU, wahai Dzat Yang Maha Pemurah! Semoga Alloh tetap melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau.


Doa Awal Tahun


Sementara itu doa awal tahun dibaca pada detik-detik memasuki hari pertama awal tahun.

Doa biasanya dibaca sebanyak tiga kali setelah Maghrib.




Berikut doanya:


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللَّهُمَّ اَنْتَ اْلاَ بَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلاَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَكَرَمِ جُوْدِكَ الْمُعَوَّلُ وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ اَقْبَلَ اَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ
اَوْلِيَائِهِ وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلاَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَاْلاِشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِى اِلَيْكَ زُلْفَى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Wa shallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam. Allaahumma antal-abadiyyul-qadiimul-awwalu, wa ‘alaa fadhlikal-’azhimi wujuudikal-mu’awwali, wa haadza ‘aamun jadidun qad aqbala ilaina nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa’ihi wa junuudihi wal’auna ‘alaa haadzihin-nafsil-ammaarati bis-suu’i wal-isytighaala bimaa yuqarribuni ilaika zulfa yaa dzal-jalaali wal-ikram yaa arhamar-raahimin, wa sallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihii wa sallam


Artinya: Dengan menyebut asma Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Alloh tetap melimpahkan rahmat dan salam (belas kasihan dan kesejahteraan) kepada junjungan dan penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan sahabat Beliau. Ya Alloh! Engkau Dzat Yang Kekal, yang tanpa Permulaan, Yang Awal (Pertama) dan atas kemurahan MU yang agung dan kedermawanan MU yang selalu berlebih, ini adalah tahun baru telah tiba: kami mohon kepada MU pada tahun ini agar terhindar (terjaga) dari godaan syetan dan semua temannya serta bala tentara (pasukannya), dan (kami mohon) pertolongan dari godaan nafsu yang selalu memerintahkan (mendorong) berbuat kejahatan, serta (kami mohon) agar kami disibukkan dengan segala yang mendekatkan diriku kepada MU dengan sedekat-dekatnya. Wahai Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, wahai Dzat Yang Maha Belas Kasih!


Apa Itu Tahun Baru Islam ?


Menurut kalender Masehi, 1 Muharram 1442 H akan jatuh pada tanggal 20 Agustus 2020 nanti.

Di Indonesia, Tahun baru Hijriah pada tanggal 1 Muharram ini ditetapkan sebagai salah satu Hari Libur Nasional seperti halnya perayaan besar hari keagamaan lainnya.

Lantas bolehkan merayakan tahun baru ini seperti halnya memperingati tahun baru Masehi tiap 1 Januari?

Yang mana pada perayaan tahun baru Masehi setiap tanggal 1 Januari, ada ritual meniup terompet atau menyalakan kembang api.

Bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya.

Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun.


Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Firman Allah Subhanahu Wataala dalam Al Quran:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut?


Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:


الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

Makna di balik bulan haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram?

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram.

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”

Sikap yang tepat adalah menyambut tahun baru Hijriah ini dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah.

Jangan justru menyambutnya secara berlebihan, maka mengarah pada perbuatan syirik.

Karena seseorang akan dimintai pertanggung jawaban nanti hari kiamat tentang mereka.

Allah berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6).

Selain itu, hendaknya kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada kita dengan sebaik-baiknya, karena nanti di hari kiamat, anggota tubuh seseorang akan berposisi sebagai musuh baginya.



Selasa, 18 Agustus 2020

Fiqih Menurut Bahasa dan Istilah

Menurut bahasa (etimologi), kata fikih berasal dari bahasa Arab الفَهْمُ yang berarti paham, seperti pernyataan “فَقَّهْتُ الدَّرْسَ” yang berarti “saya memahami pelajaran itu”.[1] Arti ini sesuai dengan arti fikih dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

مَنْ يُرِدِ اللهَ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ

Artinya:“Barang siapa yang dikehendaki Allah swt.. menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan agama”.

Pengertian Fikih Secara Bahasa dan Istilah

Ruang Lingkup dan Objek Kajian Fikih 3

Usul Fikih: Pengertian Secara Bahasa

Ruang Lingkup dan Objek Kajian Usul Fikih

al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah

Kedudukan Fikih, Usul Fikih dan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah dalam Ekonomi Syariah

Menurut terminologi, fikih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti syariah islamiyyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fikih diartikan sebagai bagian dari syariah islamiyyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.[3]

Terkait

Fikih menurut al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut:[4]

Fikih secara bahasa adalah pemahaman yang mutlak, baik secara jelas maupun secara tersembunyi. Dan telah berpendapat sebagian ulama, bahwa fikih secara bahasa berarti memahami sesuatu secara mendalam….)

Para usuliyyun membagi makna fikih secara istilah dalam tiga fase, yakni:[5]

 

Fase pertama, bahwa fikih sama dengan syariat, yakni segala pengetahuan yang terkait dengan apa-apa yang datang dari Allah swt.., baik berupa akidah, akhlak, maupun perbuatan anggota badan… Fase kedua,… fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar‘iyyah yang bersandarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Fase ketiga, dan ini yang berlaku hingga saat ini, yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariah bersifat furu‘iyyah amaliah yang bersandar pada dalil-dalil terperinci).

Dalam pandangan Wahbah az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi kata al-fiqh. Beliau mengutip pendapat Abu Hanifah yang mendefinisikannya sebagai berikut:[6]

مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَا لَهَا وَ مَا عَلَيْهَا
“…pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.”

Selain itu Wahbah az-Zuhaili juga mengutip ulama kalangan Syafi‘iyyah yang mendefinisikan al-fiqh sebagai berikut:

العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ


“Pengetahuan tentang hukum syarak yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari dalil yang terperinci.”

Fikih adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai zan, karena ditarik dari dalil-dalil yang zanny. Bahwa hukum fikih itu adalah zanny sejalan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari Alquran dan sunnah Rasulullah saw..[7]

Sedangkan al-Amidi memberikan definisi fikih yang berbeda dengan definisi di atas, yaitu: “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syarak yang bersifat furu‘iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.[8] Hakekat fikih menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya Garis-Garis Besar Fikih adalah: 1) Ilmu tentang hukum Allah swt., 2) Membicarakan hal-hal yang bersifat amaliyah furu‘iyyah, 3) Pengertian tentang hukum Allah swt. didasarkan pada dalil terperinci, dan 4) Digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.[9]

“Fikih merupakan seperangkat aturan hukum atau tata aturan yang menyangkut kegiatan dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, bertingkah laku dan bersikap yang bersifat lahiriah dan amaliah.”

Dari pengertian yang telah dikemukakan tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa fikih merupakan seperangkat aturan hukum atau tata aturan yang menyangkut kegiatan dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, bertingkah laku dan bersikap yang bersifat lahiriah dan amaliah, yang merupakan hasil penalaran dan pemahaman yang mendalam terhadap syariah oleh para mujtahid berdasarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain bahwa fikih terbatas pada hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furu‘iy (cabang) dan tidak membahas perkara-perkara i’tiqady (keyakinan) walaupun pada awal kemunculannya merupakan bagian yang tidak terpisah.

Sabtu, 15 Agustus 2020

Imam Syafi’i: Peletak Dasar Usul fikih

Dear Muslim, tau kan kalau sebagian besar umat Islam di Indonesia menganut mazhab Syafi’i dalam fikih. Tentu saja ya, sebab meski kita tidak kenal dengan fikih Syafi’i itu sebenarnya seperti apa, secara tidak langsung dalam praktek keberagamaannya kita tergolong pengikut mazhab Syafi’i. Ini tidak lepas dari pengaruh ulama nusantara yang banyak menganut mazhab Syafi’i. Nah Berbicara tentang mazhab Syafi’i,siapa sih sebenarnya Imam Syafi’i itu? Kalau belum tau,Mari kita baca bersama ulasan berikut ini. Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abū Abdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i. Beliau adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, beliau termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad. Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah. Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Beliau tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab. Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Dan masih banyak lagi guru yang lainnya. Kemudian Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan berguru fikih kepada Imam Malik bin Anas. Beliau mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu, Imam Syafi`i sendiri juga sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Makah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Saking kagumnya Imam Syafi’i kepada dua imam itu, sampai-sampai beliau berkata: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Beberapa Ulama’ Yaman yang didatangi Imam syafi’i seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fikih di negeri Iraq. Di Mesir Imam Syafi’i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim. Sebenarnya tujuan Imam Syafi’i pergi ke Mesir adalah ingin bertemu dan berguru dengan Imam Laits Bin Sa’ad. Namun sayangnya, sebelum tiba di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad sudah meninggal dunia. Jika di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya atau yang terkenal dengan sebutan qaul qadim. Kemudian beliau pindah ke Mesir pada tahun 200 Hijriyah, Imam Syafi’i menuliskan madzhab barunya yang dikenal dengan sebutan qaul jadid. Salah satu karangan Imam Syafi’i adalah kitab “Ar-Risalah”, yaitu kitab pertama tentang ushul fiqh. Adapun mazhab barunya di Mesir termuat di dalam kitabnya yang diberi nama “Al-Umm”. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fikih, hadis, dan juga ushul. Beliau mampu memadukan fikih ahli Irak dan fikih ahli Hijaz. Mengenai Imam Syafi’i ini, Imam Ahmad bin Hambal berkata,”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” Imam Ahmad bin Hambal juga berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Syafi`i. Adapun dasar yang dipakai dalam madzhabnya, Imam Syafi’i menggunakan: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i banyak sekali memiliki murid. Salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hambal yang kemudian hari mendirikan mazhab Hambali. Imam Syafi’i meninggal dunia di Fusthat, Mesir pada tahun 204 Hijriyah atau bertepatan pada tahun 819 Masehi. Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir, kesedihan dan duka pun melanda seluruh warga. Mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah diatas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi. Akhi Fillah, begitulah biografi singkat Imam Syafi’i. Sungguh Imam Syafi’i merupakan ulama yang luar biasa, dan kemuliaan diperolehnya karena ilmu. Semoga ilmu beliau terus bermanfaat bagi kita semua. Amiinn..!
Allahumma Fqqihna Fiddiin W'allimna Atta'wiil.

Usul fiqh

Buka Linknya https://www.google.com/amp/s/santripelangi.wordpress.com/2014/11/01/materi-ushul-fiqh/amp/

Usul fiqh BAB II

 Bab II

BAB II
HUKUM SYARA’

Pembahasan Hukum Syara’ merupakan salah satu dari obyek kajian ilmu Ushul Fiqih. Di dalam pembahasan ini materi yang akan di kaji meliputi; al-Hakim (Pembuat hukum Syara’/Allah), Pengertian hukum syara’, Pembagian hukum syara’, Mahkum Fiih (Perbuatan mukallaf) dan Mahkum ‘Alaih (orang mukallaf)
Skema pembahasan hukum syara’

1. Al-Hakim (Pembuat hukum)
Lafad Hakim berasal dari kata hakama yang berarti memutuskan perkara. Secara bahasa Hakim adalah “Pihak yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqih ada persamaan pengertian antara Hakim dan Qadli, yang berarti “Orang yang memberiakan putusan hukum di dalam pengadilan”.
Namun di dalam kajian Ushul Fiqih, Hakim adalah Pembuat/pemutus hukum secara hakiki, yakni Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam memutuskan hukum secara hakiki adalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam surat al-An’am ayat 57:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya aku berada di atas hujah yang nyata dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”

2. Pengertian Hukum Syara’
Secara bahasa yaitu “memutuskan”, secara istilah hukum syara’ adalah:
“Kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah (mengerjakan/meninggalkan), tahyir (pilihan), atau penetapan sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang”.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa hukum syara’ merupakan Kalam Allah yang mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia yang mukallaf (islam, baligh dan berakal). Kalam Allah bisa berupa:

1. Perintah mengerjakan sesuatu ex.: sholat 5 waktu.
2. Anjuran mengerjakan sesuatu ex.: Kesopanan dalam bergaul
3. Larangan mengerjakan sesutu ex.: Minum Khomer
4. Anjuran meninggalkan sesuatu ex.: Berkumur pada saat berpusa
5. Memberi pilihan: antara melakukan dan tidak melakukan ex.: Makan
6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab ex.: Tergelincirnya matahari sebagai sebab dari kewajiban menunaikan Sholat Dluhur
7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat ex.: Berwudlu sebagai syarat jika orang hendak melakukan sholat
8. Menetapkan sesuatu sebagai penghalang (mani’) ex.: seseorang yang membunuh orang tuanya, menjadi penghalang ia mendapatkan warisan.
9. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan batal
10. Menetapkan seuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshoh

Dengan demikian hukum syara’ dalam wacana Ushul Fiqih merupakan keputusan dan ketetapan hukum atas perbuatan orang mukallaf yang bersumber dari teks al-Quran dan Hadis, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

3. Pembagian Hukum Syara’
Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua bagian; Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i.

1. Hukum Taklifi.

Hukum taklifi adalah “Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada seorang mukallaf”.
* Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunat.
* Larangan Allah terbagi menjadi dua: Haram dan Makruh
* Pilihan terbagi menjadi dua: boleh mengerjakan boleh meninggalkan.

*  Wajib

Menurut bahasa wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah wajib adalah: “sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf, jika dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah dan jika ditinggalkan diancam dengan dosa”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perkara yang diwajibkan oleh Allah harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Jika melaksanakan perkara wajib maka ia akan mendapat pahala disisi Allah SWT. Tidak ada balasan kecuali surga di akhirat kelak, suatu tempat yang kenikmatannya tidak pernah dilihat dan dirasakan di dunia yang sementara ini. Ia akan kekal di dalamnya. Namun jika perintah Allah yang berupa “wajib” ditinggalkan maka ia berdosa dan nerakalah tempatnya, terkecuali ia bertobat dan mendapat ampunan dari Allah SWT.

Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:
a.    dari sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah
b.    dari sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar
c.       dari sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat

•    Wajib Ain: kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali. Kewajiban ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat dll.
•    Wajib Kifayah: kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
•    Wajib Mu’ayyan: suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi mukallaf, seperti puasa di bulan ramadlan dll.
•    Wajib Mukhoyyar: suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa alternative. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka ia wajib memilih salah satu dari tiga hal dalam membayar kifarat: memberi makan 10 fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
•    Wajib Mutlak: suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti mengqadlo’ puasa ramadlan yang tertinggal dll.
•    Wajib Muaqqat: suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti sholat lima waktu dll.

* Sunat

Hukum sunat merupakan sesuatu yang dianjurkan. Sunat menurut istilah adalah: “Suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah, jika dilaksanakan akan diberi pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa”. Istilah sunat bisa disebut dengan istilah mandub, nafilah, mustahab, tathowwu’, ihsan, dan fadhilah.

Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:
1.    Sunat Muakkad
2.    Sunat Ghairu Muakkad
3.    Sunat Zawaid.

•    Sunat Muakkad: sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh Nabi SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya sholat sunnat sebelum fajar.
•    Sunat Ghoiru Muakkad: sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan oleh Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memberikan sodaqah kepada orang yang tidak dalam kondisi terdesak.
•    Sunat Zawaid: Sunnat yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW sebagai seorang manusia biasa, seperti adapt kebiasan nabi dalam hal makan, minum duduk, berpakaian dll.

* Haram

Haram secara bahasa adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Adapun menurut istilah haram adalah: “Sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah, dimana orang yang melanggarnya akan berdosa dan durhaka, sementara orang yang meninggalkannya (dengan niat menaati perintah Allah) akan mendapatkan pahala”
Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan kedamaian.

Ulama Ushul membagi haram kedalam dua bagian:
1. Haram Li-Dzatihi
2. Haram Li-Ghoirihi

•    Haram Li-Dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya mengandung kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia, contoh berzina.
•    Haram Li-Ghoirihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jum’at, bermain-main di tempat maksiat dll.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terkadang susutu bisa haram karena esensinya memang diharamkan oleh agama dan terkadang sesuatu bisa diharamkan karena sesuatu tersebut dapat menyebabkan melakukan sesuatu yang diharamkan. Dalam kaidah fiqih disebutkan :
ما لا يتم الحرام إلا به فهو حرام
“Sesuatu yang diharamkan tidak bisa terjadi/sempurna terkecuali dengan suatu hal maka suatu hal tersebut hukumnya haram”

* Makruh

Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.

* Mubah

Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.

2. Hukum Wadl’i

Hukum Wadl’i adalah: “Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai mani’ (penghalang)”. Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3 macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).

# Sebab

Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: – Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu dluhur
– Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya
– Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk
– Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya
– Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.
“Sebab”, dibagi menjadi 2 macam: Kadang tidak berada dalam jangkauan mukallaf, terkadang Berada dalam jangkauan mukallaf.
# Syarat

Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: – Wudlu sebagai syarat sahnya sholat
– Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas
– Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di pesma al-Hikam.
“Syarat”, dibagi menjadi 2 macam: Syarat Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan oleh mukallaf)

# Mani’

Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: – Membunuh istri sebagai mani’ (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri.
– Haidl sebagai mani’ (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat
– Hutang sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat
– Tidak cakap berorganisasi sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak terpilih sebagai ketua BEM

“Mani’”, dibagi menjadi 2 macam: Mani’ Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.

4. Mahkum Fiih (Perbuatan Mukallaf)
Mahkum fiih berarti perbuatan orang mukallaf. Perbuatan tersebut merupakan obyek dari hukum fiqih.

Syarat perbuatan mukallaf adalah:
1.    perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf. Misal: kuwajiban sholat subuh diketahui oleh mukallaf
2.    Harus dalam batas kemampuannya.

5. Mahkum ‘Alaih (Orang Mukallaf)
Orang mukallaf berarti seseorang yang beragama Islam baligh dan berakal. Syarat kewajiban dalam melaksanakan hukum Allah adalah: Memahami hukum  dan Mampu melakukannya.
Wallahu A’lam

Usul Fiqh BAB I

 BAB I

Pendahuluan
A. pengertian, obyek, fungsi, hubungan
Ushul Fiqih dengan fiqih

1. Pengertian Ushul Fiqih
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang berarti; Pangkal, Pokok, Dasar dll. Sedangkan fiqih, secara bahasa berarti: Pemahaman. Secara istilah, fiqih: “Ilmu yang menjelas-kan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Adapun pengertian Ushul Fiqih adalah;
ألْعلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الي الاستفادة من الاحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“Ilmu pengetahuan yang menyajikan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum syariat mengenahi perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci”.

Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi dasar penetapan hukum Islam. Inti Ushul Fiqih adalah seperangkat kaidah (metode berpikir) guna mendukung cara atau upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Jadi ilmu Ushul Fiqih pada hakekat-nya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang memuat prosedur dan tehknik bagaimana hukum syariat dapat dirumuskan untuk pedoman hidup dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).

2. Obyek Ushul Fiqih
Pada intinya obyek kajian ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath dan system mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum tentang perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci. Lebih jelasnya ruang lingkup pembahasan Ushul Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a.    Pengenalan terhadap istilah-istilah tehnis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dll.
b.    Dalil-dalil hukum Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti mashlahah mursalah- berikut penetapan rangking kehujahan masing-masing dalil.
c.    Penjelasan tentang cara/metode “bagaimana  menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode yang dimaksud terdiri atas Qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari Nash (al-Quran Hadis) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping menggunakan pula perangkat-perangkat metode yang lain.
d.    Mujtahid, ijtihad, fatwa, taklid dll.

3. Fungsi Ushul Fiqih
Pertanyaan: “Untuk apakah mempelajari ilmu Ushul Fiqih?”. Fungsi mendasar ilmu ini –secara singkat- dapat dijelaskan; Menetapkan suatu hukum baru harus mempunyai dasar dan harus ada sistem metodenya.
Adapun fungsi Ushul Fiqih secara umum antara lain:
a.    Perkembangan zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan jawaban kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau oleh rumusan fiqih yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya dibutuhkan cara praktis dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan perangkat metodologisnya.
b.    Untuk melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur metodologis tehnik penyimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
c.    Untuk menganalisa dan menyeleksi hukum-hukum fiqih yang sudah ada, memetakan formula hukum fiqih manakah yang boleh berubah oleh karena perubahan zaman dan manakah hukum fiqih yang tidak boleh berubah.
d.    Diharapkan dengan adanya ilmu Ushul Fiqih dapat memperkecil gejala pertentangan umat Islam akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka kemungkinan menetralisir ikhtilaf negatif tersebut.

4. Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih
Ushul Fiqih sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum fiqih, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara Ushul Fiqih dengan fiqih, antara lain:
a.    Ushul Fiqih ibarat rantai penghubung antara fiqih dengan sumbernya
b.    Ushul Fiqih merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqih, agar para pakar fiqih terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqih.
c.    Ushul Fiqih merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqih yang telah dirintis oleh ulama generasi pendahulu,

Wallahu A’lam
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Ushul Fiqih

Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.

Masa Nabi SAW
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
ٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.

Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-Ra’yu” dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.

Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah kekuasaan Islam, lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat, seperti Qawl Sohabi (fatwa sahabat). Namun demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.

Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)
Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.

Masa Pasca Imam Syafi’i
Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatarbelakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks sumber agama, al-Quran dan Hadis.

Wallahu A’lam

Prangkat Akreditasi MA

Kisi - kisi UAMBN 2020

Dirgahayu Ripublik Indonesia


Dirgahayu Ripublik Indonesia Ke - 75

Jumat, 14 Agustus 2020

Cerita lama Ku rindu kembali.

 





























Tambahkan teks




















































































Tambahkan teks